Kamis, 26 Maret 2015

maslahah dan penerapannya dalam keuangan syariah



MASLAHAH DAN PENERAPANNYA  DALAM KEUANGAN SYARIAH
Salah satu metode yang di kembangkan ulama ushul fiqih dalam mengembangkan istimbat hukum dari nash adalah maslahah al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’I (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh sejumlah nash melalui istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang di jadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang di kehendaki syara’. Sifat yang mula’im itu ada yang berbentuk  mu’tabar (ditunjuk langsung oleh nash), ada yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang tidak di dukung  dan di tolak oleh nash juz’I, tetapi di dukung secara umum oleh sejumlah nash).[1]
A.    Pengertian Maslahah
Kata maslahah  berasal dari kata bahasa arab   صَلَحَيَصْلُحُ  menjadi  صُلْحًا  atau مَصْلَحَةً    yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah (Kesejahteraan Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas pengakuan atau pembatalannya.
Secara etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila di  katakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab di perolehnya manfaat lahir dan batin.[2]
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali[3], mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat, tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul mursalah.
Maslahatul Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah memenuhi tiga syarat; ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum yang bersumber dari Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat[4]. Tiga syarat yang dimaksud ialah:
1)        Maslahah yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata dugaan.
2)        Maslahah itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.
3)        Maslahah itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan ijmak dan Qiyas.
            Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai sumber fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah memelihara semua kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an dan sunnah melalui ijmak ulama dan Qiyas.
            Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna kemaslahatan manusia  tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan pada kehendak hawa nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat bagian harta warisan yang menurut mereka  hal tersebut mengadung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’ karenanya tidak di namakan maslahah. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di jadikan patokan dalam menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak  dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu : memelihara agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’ di atas, maka dinamakan maslahah. Dismaping itu upaya untuk menolak segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut,juga dinamakan maslahah. Dalam kaitan dengan ini, imam al-Syathibi,[5] mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat , karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ di atas termasuk dalam konsep maslahat.Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
Maslahah terus mengalami perkembangan setiap zaman dengan melihat kondisi lingkungannya. Pembentukan hukum pada suatu masa dan suatu lingkungan yang mewujudkan maslahah belum tentu akan membentuk maslahah pula pada  masa yang akan datang atau lingkungan lain di sebabkan adanya perbedaan kultur budaya. Adapun maslahah yang di kehendaki pada suatu masa yang timbul pada suatu keadaan mulai datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syar’I belum merealisasikan maslahah-maslahah tersebut secara jelas, sedangkan masyarakat umum mengehendaki adanya realisasi maslahah yang di sebut sebagai  maslahah al-mursalah yang kemudian di jadikan sebagai sebuah sumber hukum yang di gunakan oleh sebagian ulama ushul.
Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama, Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Musthafa, mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah Mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Maslahah Mursalah adalah maslahah yang masuk dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat diambil suatu pemahaman, bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan kemaslahatan yang bersifat umum pula.[6]
Menurut Abd al-Wahab Khallaf bahwa pembentukan hukum berdasarkan maslahah mursalah itu tidak di maksudkan, kecuali merealisir kemaslahatan umat manusia.Maksudnya mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak kesulitan (mudharat). Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas jumlah dan macamnya, ia selalu berkembang mengikuti situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat. Penetapan suatu hukum kadang-kadang memberi manfaat kepada masyarakat pada suatu masa dan kadang-kadang membawa mudharat pada masa yang lain.[7]
            Mengenai kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mnegatakan bahwa ada empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk menggali hukum islam, yaitu:
1.       ulama yang tidak memakai maslahat mursalat secra mutlak;
2.       Imam Malik menerapkan Maslahat Mursalat secara mutlak;
3.        Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas ulama Hanafiyah membolehkan memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai) dengan ashl al-kulli (prinsif umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari prinsif-prinsif syariat;
4.       al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima maslahat dengan tiga syarat, yaitu :
a.        terdapat kesesuaian maslahat dengan maksud hukum islam dan tidak bertentangan dnegan dalil yang pasti;
b.       maslahat tersebut dapat diterima oleh akal;
c.        maslahat bersifat dharuri, yakni untuk memelihara salah satu dari ; agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta benda. Untuk mengurangi perbedaan pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya dapat di lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid al-Syari’ah.[8]

B.     Macam-macam Maslahat
      Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika di lihat dari beberapa segi. Di lihat dari segi kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli ushul fiqih membaginya kepada tiga macam yaitu :
1.      Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.
2.      Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3.      Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya di anjurkan memakan makanan yang bergizi  dan berpakaian yang bagus-bagus.[9]
Dilihat dari berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd Mushthafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
1.      Mashlahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.
2.      Mashlahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.[10]

C.    Maslahah dalam Ekonomi
                        Sebagian besar kemaslahatan dunia dan mafsadatnya telah di ketahui oleh akal. Pengetahuan yang berhubungan dengan perihal ini termasuk sebagian besar pokok bahasan syari’at melaksanakan  kemaslahatan yang murni dan menolak kemafsadatan murni  akan merupakan tindakan yang sangat terpuji bagi kehidupan manusia.[11]Tak terkecuali bagi kegiatan ekonomi.Konsep maslahah merupakan sebuah ilustrasi dasar tentang maqasid syari’ah dalam segala aspek kehidupan. Syari’at pada prinsifnya hanyalah mendatangkan kemaslahatan bagi manusia atau menghilangkan kemafsadatan mereka .
                        Konsep ekonomi islam sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat islam. Sejak zaman dulu para pemikir-pemikir ekonomi islam klasiktelah memikirkan hal ini. Bahkan sejak masa kenabian, pemikiran tentang ekonomi Islam muncul sebagai salah satu tradisi intelektual, walaupun pemikiran tersebut sangat sederhana sesuai dengan konteks zaman dan tantangan kehidupan yang berkembang pada saat itu. Kebanyakan mereka menuangkan pemikirannya tentang ekonomi bersama dengan pemikiran lain, khususnya hukum Islam. Hal yang sama dilakukan al-Syatibi, pemikiran ekonominya tidak dalam suatu karya khusus, tapi menjadi bagian tertentu dari kajiannya tentang hukum Islam. Indikasi tersebut tampak dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat fi Ushul al-
Syari’ah.
Ahmad Najetullah Siddiqi membagi periode perkembangan pemikiran ekonomi Islam ke dalam tiga periode: Periode Awal, berlangsung pada masa ke-khalifah-an sampai 450 H (1058M), Periode Kedua (1058-1446M), dan Periode Ketiga (1446-1931M).1 Al-Syatibi berdasarkan periodisasi di atas berada dalam periode kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Salah satu konsep pemikirannya adalah persoalan maslahah (mewujudkan kemaslaharan) sebagai tujuan dari maqasid syari’ah.
Mewujudkan kemaslahatan merupakan tujuan syariah, kemaslahatan yang dikehendaki meliputi dunia dan akhirat.Untuk mengukur kemaslahatan harus dilihat dari tingkat kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dharury, hajiat, dan tahsiniyat. Konsep kemaslahatan akan memberi kontribusi yang besar bila diimplementasikan dalam pengembangan ekonomi syariah, misalnya dalam hal: konsep pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar utility. Al Syatibi memberikan pandangan yang berbeda mengenai maslahah. Maslahah dan maqasid al syariah merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam.
Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Jika suatu perbuatan itu mengandung kemaslahatan yang sangat besar maka Allah mewajibkan untuk di terapkan dalam setiap syari’at. Kemaslahatan dapat di uraikan menjadi tiga kelompok yaitu[12] :
1.      Kemaslahatan yang bersifat ukhrawiyah. Sisi ini belum dapat dipastikan atas keberhasilannya, sebab seseorang tidak lah mengetahui akhir hayatnya, bisakah ia mendapat khusnul khatimah atau malah sebaliknya.
2.      Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah. Hal ini dapat di bagi menjadi :
a.       Kemaslahatan yang keberhasilannya bersifat sempurna, sebagaimana makan, minum dan juga berbagai kegiatan mu’amalah yang di mubahkan seperti berburu dan merumput.
b.      Kemaslahatan yang pada lazimnya diharapkan bisa berhasil, sebagaimana berniaga, baik terhadap harta sendiri ataupun harta orang lain. Kesemuanya itu merupakan kemaslahatan yang belum dapat dirasakan hasilnya.
3.      Kemaslahatan yang bersifat duniawiyah dan ukhrawiyah , sebagaimana kafarat dan berbagai macam ibadah yang bertalian dengan harta, seperti zakat, sadaqah dan lain-lain.
Dalam praktek ekonomi islam di tujukan untuk memperoleh maslahah tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maslahah dan maqashid al-Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua halpenting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam.Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Diterima akal, mengandung makna bahwa akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut.
            Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah:[13]
            1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb almanafi’(membawa manfaat).Kebaikan dan kesenangan ada yang dirasakan langsungoleh orang melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, tetapi ada juga kebaikandan kesenangan dirasakan setelah perbuatan itu dilakukan, atau dirasakan harikemudian, atau bahkan Hari Kemudian (akhirat).Segala perintah Allah swt berlakuuntuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu.
2. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u almafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang langsung dirasakannya setelahmelakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan sesuatu kesenanganketika melakukan perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang dirasakannya adalahkerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur yang berpenyakit ataumeminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan alsyari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah berarti jalanmenuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.[14]Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al-Syatibi adalah kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, ia menyatakanbahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.11 Kemaslahatan, dalam hal ini diartikannya sebagai segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yangdituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.12
Adapun yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan pokok hukum adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah(kebutuhan tertier).13
1.  Dharuriyat, kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia tanpa harus dipenuhi manusia sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia, yaitu secara peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima).14 Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.15
2.  Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan
mukallaf.
4.      Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tersier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia bersifat pelengkap dalam kehidupan mukallaf, yang dititikberatkan pada masalah etika dan estetika dalamkehidupan.
            Dari uraian di atas jelas bahwa segala syari’at islam menghendaki segala bentuk kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan, tak terkecuali dalam pemenuhan kebutuhan manusia sehari-hari.

D.     Maslahah dalam pemenuhan kebutuhan manusia
Masalah dalam ekonomi konvensional adalah bahwa perkembangan kebutuhan manusia tidak sebanding dengan sumber daya yang tersedia sebagai alat pemuas. Mereka menempatkan bahwa kebutuhan dan  keinginan itu sama. Berbeda dengan islam yang menolak anggapan tersebut. Kebutuhan manusia itu justru terbatas, misalnya dalam perkara makan, jika seseorang makan dan telah merasa kenyang maka hal itu menyatakan bahwa ia telah puas dan kebutuhannya telah terpenuhi. Jika di dasarkan kepada hasrat manusia semata maka masalah ekonomi tidak akan selesai. Dalam islam hasrat di jadikan sebagai sebuah keinginan. Dan hanya hasrat yang menghasilakn maslahah dunia dan akhirat lah yang dijadikan sebagai need (keinginan).

E.      Maslahah dalam distribusi pendapatan
Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran islam di ajarkan ke dalam teori dan di interpretasikan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain. Kaitannya dengan zakat, zakat merupakan sumber penting  dalam struktur keuangan ekonomi islam. Karena setiap muslim yang kekayaannya mencapai nisab, di wajibkan membayar sebagian hartanya untuk orang miskin dan yang memerlukan (asnaf). Dalam penegrtian modern, zakat adalah pajak yang dikumpulkan dari orang kaya muslim yang diperuntkkan terutam untuk memabantu masyarakat muslim yang miskin[15]. Sehingga, pendapatan tidak hanya di rasakan oleh orang kaya saja,namun terdistribusi secara adil dan menimbulkan maslahah bagi segala umat baik bagi yang membayar zakat maupun yang menerima zakat tersebut. Zakat dari orang muslim ataupun jizyah dari orang non-muslim dasar hukumnya sama pula yaitu untuk menciptakan kesejahteraan dan maslahah bagi umat.
Zakat merupakan bagian dari pembahasan ilmu ekonomi islam yang masuk dalam sistem fiscal atau pendapatan utama Negara atau lembaga islam. Pendapatan zakat dan sumber keuangan lainnya dalam islam adalah untuk memakmurkan dan menyejahterakan umat[16].
Menurut prinsif islam,  kekayaan harus menyandang sistem kesejahteraan yang bertumpu pada zakat sebagai bentuk syukur atas segala yang di anugerahkan tuhan. Selain sebagai sarana untuk menyucikan jiwa dan harta, zakat juga merupakan tips bagi jaminan perlindungan, pengembangan dan pengaturan peredaran serta distribusi kekayaan. Cara memanfaatkannya didasarkan pada fungsi sosialnya bagi kepentingan masyarakat yang menyentuh kalangan miskin maupun kaya.
Islam melarang pemakaian harta benda semata-mata untuk kemewahan dan pamer. Lagi pula, dalam rangka pengembangan investasi, islam melarang monopoli yang merupakan pilar utama berdirinya sistem kapitalisme dan eksploitasisime. Islam mengharuskan di terapkannya prinsif keadilan, termasuk juga dalam hal pemerataan kesejahteraan.[17]


[1] Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997 hal.  113
[2] Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo : Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-414
[3] Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286
[4] Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
[5] Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1975, jilid IV,hal.206 dan 208
[6]file:///D:/tugas%20kuliah/ushul%20fiqih%20keuangan%20syariah/Aplikasi%20Maslahah%20Mursalah%20Dalam%20Ekonomi%20_%20Tumbuh%20Berkembang.htm
[7] Fathurrahman  Azhari , ushul fiqih, Banjarmasin :  LPKU, 2014, jilid I, hal.
[8]Ibid.h.153.
[9] Nasrun Haroen, ushul……., op. cit.,jilid II, hal 115-116
[10]Ibid., hal 117
[11] ‘izzudin Ibnu Abdis Salam, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung : penerbit Nusa Media, 2011, hal3
[12]Ibid., hal 56
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal . 208
[14] Fazlurrahman, Islam, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1984), h. 140.
[15] M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : Bangkit Daya Insana, 1995, hal.1-7
[16] Umrotul Hasanah , Manajemen zakat modern, Malang : UIN Maliki Press, 2010, hal.  48
[17]Ibid., hal 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar