MASLAHAH DAN PENERAPANNYA DALAM KEUANGAN SYARIAH
Salah satu metode yang di kembangkan ulama
ushul fiqih dalam mengembangkan istimbat hukum dari nash adalah maslahah
al-mursalah , yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’I (rinci) yang
mendukungnya, dan tidak ada pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang
mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini di dukung oleh sejumlah nash melalui
istiqra’ (induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana di kemukakan dalam bab
qiyas, bahwa sesuatu yang bisa di jadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang
di jadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan
yang di kehendaki syara’. Sifat yang mula’im itu ada yang berbentuk mu’tabar (ditunjuk langsung oleh nash), ada
yang mulghi (ditolak oleh nash), da nada yang mursal (yang tidak di dukung dan di tolak oleh nash juz’I, tetapi di
dukung secara umum oleh sejumlah nash).[1]
A.
Pengertian Maslahah
Kata maslahah
berasal dari kata bahasa arab صَلَحَ – يَصْلُحُ menjadi صُلْحًا
atau مَصْلَحَةً
yang berarti sesuatu yang mendatangkan kebaikan. Maslahah (Kesejahteraan
Umum) yakni yang dimutlakkan, (Maslahah bersifat umum) menurut Ulama
Ushul yaitu, maslahah di mana syari’ tidak menyaratkan hukum untuk
mewujubkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuan atau pembatalannya.
Secara
etimologi, maslahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Maslahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.
Apabila di katakan bahwa perdagangan itu
suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut
berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab di perolehnya manfaat
lahir dan batin.[2]
Secara terminology,, terdapat beberapa definisi
maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih, tetapi seluruh definisi tersebut
mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali[3],
mengemukakan bahwa prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.” Mazhab Maliki yang menjadikan Maslahatul Mursalah sebagai sumber
fikih dengan dua alasan. Pertama bahwa kemaslahatan manusia selalu berubah
menurut perubahan ruang dan waktu, dan setiap saat kemaslahatan itu
bermunculan, karena itu kalau sumber fikih itu terbatas kepada nash saja akan
terdapat banyak kemaslahatn yang tidak dapat ditetapkan hukumnya sedang yang
seperti ini sangat bertentangan dengan tujuan syariat itu sendiri karena
syariat adalah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia. Kedua secara diduksi
banyak ketentuan- ketentuan fikih yang ditetapka oleh para sahabat,
tabi’it-tabi’in dan para ulama imam mazhab yang bersumber dari maslahatul
mursalah.
Maslahatul
Mursalah yang dapat dijadikan sumber fikih apabila telah memenuhi tiga syarat;
ketiga syarat ini untuk menjamin agar ketentuan hukum yang bersumber dari
Maslahatul Mursalah tidak bertentangan dengan jiwa syariat[4].
Tiga syarat yang dimaksud ialah:
1)
Maslahah
yang dimaksud adalah maslahah yang sebenarnya bukan hanya semata dugaan.
2)
Maslahah
itu untuk masyarakat banyak bukan untuk kelompok atau pribadi.
3)
Maslahah
itu tidak boleh bertentangan dengan ketentan nash atau ketentuan ijmak dan
Qiyas.
Namun sekelompok ulama yang menentang Maslahatul Mursalah sebagai
sumber fikih mengemukakan dua alasan. Pertama bahwa syariat islam telah
memelihara semua kemaslahatan manusia yang disebutkan dengan jelas di dalam
Al-Qur’an dan sunnah melalui ijmak ulama dan Qiyas.
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan
tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karna
kemaslahatan manusia tidak selamanya
didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering di dasarkan pada kehendak hawa
nafsu. Misalnya di zaman jahiliyah para wanita tidak mendapat bagian harta
warisan yang menurut mereka hal tersebut
mengadung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka , tetapi pandangan
ini tidak sejalan dengan kehendak syara’ karenanya tidak di namakan maslahah.
Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang di jadikan patokan dalam
menetukan kemaslahatan itu adalah kehendak
dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’
yang harus dipelihara tersebut, lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu :
memelihara agama, jiwa, akal, keterunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan syara’
di atas, maka dinamakan maslahah. Dismaping itu upaya untuk menolak segala
bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut,juga dinamakan maslahah. Dalam kaitan dengan ini, imam al-Syathibi,[5]
mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan
dunia maupun kemaslahatan akhirat , karena kedua kemaslahatan tersebut apabila
bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ di atas termasuk dalam konsep
maslahat.Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai
seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
Maslahah terus
mengalami perkembangan setiap zaman dengan melihat kondisi lingkungannya.
Pembentukan hukum pada suatu masa dan suatu lingkungan yang mewujudkan maslahah
belum tentu akan membentuk maslahah pula pada
masa yang akan datang atau lingkungan lain di sebabkan adanya perbedaan
kultur budaya. Adapun maslahah yang di kehendaki pada suatu masa yang timbul
pada suatu keadaan mulai datang setelah terputusnya wahyu, sedangkan syar’I
belum merealisasikan maslahah-maslahah tersebut secara jelas, sedangkan
masyarakat umum mengehendaki adanya realisasi maslahah yang di sebut
sebagai maslahah al-mursalah yang
kemudian di jadikan sebagai sebuah sumber hukum yang di gunakan oleh sebagian
ulama ushul.
Terdapat beberapa definisi Maslahah Mursalah
yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung
esensi yang sama, Imam al-Ghazali dalam bukunya al-Musthafa,
mengemukakan bahwa pada prinsipnya Maslahah Mursalah adalah mengambil manfaat
dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’
Disisi lain A. Hanafi, M.A mendefinisikan Maslahah
Mursalah adalah jalan kebaikan (maslahah) yang tidak disinggung
syara’ untuk mengerjakannya atau meninggalkannya, sedang apabila dikerjakan
akan membawa manfaat atau menghindarkan mudharat. Sedangkan menurut Mustafa
Ahmad Al-Zarqa, Maslahah Mursalah adalah maslahah yang masuk
dalam pengertian umum yakni (menarik manfaat dan menolak mudharat). Alasannya
adalah syariat Islam datang untuk merealisasikan masalah dalam bentuk
umum.Nash-nash dan dasar-dasar syariat Islam telah menetapkan kewajiban
memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya ketika mengatur berbagai aspek
kehidupan.
Dari pengertian beberapa pendapat diatas dapat
diambil suatu pemahaman, bahwasanya Maslahah Mursalah adalah memberikan
hukum terhadap suatu masalah atas dasar kemaslahatan yang secara khusus tidak
tegas dinyatakan oleh nash, yang apabila dikerjakan jelas membawa kemaslahatan
yang bersifat umum dan apabila ditinggalkan jelas akan mengakibatkan
kemaslahatan yang bersifat umum pula.[6]
Menurut Abd al-Wahab Khallaf bahwa pembentukan
hukum berdasarkan maslahah mursalah itu tidak di maksudkan, kecuali merealisir
kemaslahatan umat manusia.Maksudnya mendatangkan manfaat bagi manusia dan
menolak kesulitan (mudharat). Kemaslahatan manusia itu tidak terbatas jumlah
dan macamnya, ia selalu berkembang mengikuti situasi dan kondisi serta
perkembangan masyarakat. Penetapan suatu hukum kadang-kadang memberi manfaat
kepada masyarakat pada suatu masa dan kadang-kadang membawa mudharat pada masa
yang lain.[7]
Mengenai
kedudukan maslahah sebagai dalil hukum, Imam Syaukani mnegatakan bahwa ada
empat pendapat ulama dalam memakai maslahat mursalat sebagai dalil untuk
menggali hukum islam, yaitu:
1.
ulama yang tidak memakai maslahat
mursalat secra mutlak;
2.
Imam Malik menerapkan Maslahat
Mursalat secara mutlak;
3. Ibnu Burhan dan al-Juwaini dan mayoritas ulama
Hanafiyah membolehkan memakainya sebagai dalil jika mula’imah (sesuai) dengan
ashl al-kulli (prinsif umum) dan ashl-juz’I (prinsif parsial) dari
prinsif-prinsif syariat;
4.
al-Ghazali dan al-Baidhawi menerima
maslahat dengan tiga syarat, yaitu :
a.
terdapat kesesuaian maslahat dengan
maksud hukum islam dan tidak bertentangan dnegan dalil yang pasti;
b.
maslahat tersebut dapat diterima
oleh akal;
c.
maslahat bersifat dharuri, yakni
untuk memelihara salah satu dari ; agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta
benda. Untuk
mengurangi perbedaan pendapat para ulama dalam menanggapi maslahat, sebenarnya
dapat di lakukan apabila maslahat mursalat di kaitkan dengan maqasid
al-Syari’ah.[8]
B.
Macam-macam
Maslahat
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa
pembagian maslahah, jika di lihat dari beberapa segi. Di lihat dari segi
kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli ushul fiqih membaginya kepada
tiga macam yaitu :
1.
Maslahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan
yang berhubungan dengan kebutuhan pokok manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu memelihara agama,jiwa, akal,
keturunan, dan memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini di sebut al-mashalil
al-khamsah.
2.
Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang
berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar
manusia. Misalnya dalam mu’amalah di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3.
Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan
yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan
sebelumnya. Misalnya di anjurkan memakan makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-bagus.[9]
Dilihat dari
berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammd Mushthafa al-Syalabi, guru
besar ushul fiqih di universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu :
1.
Mashlahah
al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir
zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah.
2.
Mashlahah
al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan
tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan
permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti dalam masalah makanan yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya.[10]
C.
Maslahah dalam Ekonomi
Sebagian besar kemaslahatan dunia dan mafsadatnya telah di ketahui
oleh akal. Pengetahuan yang berhubungan dengan perihal ini termasuk sebagian
besar pokok bahasan syari’at melaksanakan
kemaslahatan yang murni dan menolak kemafsadatan murni akan merupakan tindakan yang sangat terpuji
bagi kehidupan manusia.[11]Tak
terkecuali bagi kegiatan ekonomi.Konsep maslahah merupakan sebuah ilustrasi
dasar tentang maqasid syari’ah dalam segala aspek kehidupan. Syari’at pada
prinsifnya hanyalah mendatangkan kemaslahatan bagi manusia atau menghilangkan
kemafsadatan mereka .
Konsep ekonomi islam
sebenarnya bukan hal yang baru bagi umat islam. Sejak zaman dulu para
pemikir-pemikir ekonomi islam klasiktelah memikirkan hal ini. Bahkan sejak masa
kenabian, pemikiran tentang ekonomi Islam muncul sebagai salah satu tradisi
intelektual, walaupun pemikiran tersebut sangat sederhana sesuai dengan konteks
zaman dan tantangan kehidupan yang berkembang pada saat itu. Kebanyakan mereka
menuangkan pemikirannya tentang ekonomi bersama dengan pemikiran lain,
khususnya hukum Islam. Hal yang sama dilakukan al-Syatibi, pemikiran ekonominya
tidak dalam suatu karya khusus, tapi menjadi bagian tertentu dari kajiannya
tentang hukum Islam. Indikasi tersebut tampak dalam karya monumentalnya, al-Muwafaqat
fi Ushul al-
Syari’ah.
Ahmad Najetullah Siddiqi membagi periode perkembangan pemikiran
ekonomi Islam ke dalam tiga periode: Periode Awal, berlangsung pada masa
ke-khalifah-an sampai 450 H (1058M), Periode Kedua (1058-1446M), dan Periode
Ketiga (1446-1931M).1 Al-Syatibi berdasarkan periodisasi di atas berada dalam
periode kedua perkembangan pemikiran ekonomi Islam. Salah satu konsep
pemikirannya adalah persoalan maslahah (mewujudkan kemaslaharan) sebagai
tujuan dari maqasid syari’ah.
Mewujudkan kemaslahatan merupakan tujuan syariah, kemaslahatan yang
dikehendaki meliputi dunia dan akhirat.Untuk mengukur kemaslahatan harus
dilihat dari tingkat kebutuhan manusia yaitu kebutuhan dharury, hajiat, dan
tahsiniyat. Konsep kemaslahatan akan memberi kontribusi yang besar bila
diimplementasikan dalam pengembangan ekonomi syariah, misalnya dalam hal:
konsep pemenuhan kebutuhan manusia, paradigma aktifitas ekonomi, dan standar
utility. Al Syatibi memberikan pandangan yang berbeda mengenai maslahah.
Maslahah dan maqasid al syariah merupakan dua hal penting dalam pembinaan dan
pengembangan hukum Islam.
Maslahah secara sederhana diartikan sesuatu yang baik dan dapat
diterima oleh akal yang sehat.Jika suatu perbuatan itu mengandung kemaslahatan
yang sangat besar maka Allah mewajibkan untuk di terapkan dalam setiap
syari’at. Kemaslahatan dapat di uraikan menjadi tiga kelompok yaitu[12] :
1.
Kemaslahatan
yang bersifat ukhrawiyah. Sisi ini belum dapat dipastikan atas keberhasilannya,
sebab seseorang tidak lah mengetahui akhir hayatnya, bisakah ia mendapat
khusnul khatimah atau malah sebaliknya.
2.
Kemaslahatan
yang bersifat duniawiyah. Hal ini dapat di bagi menjadi :
a.
Kemaslahatan
yang keberhasilannya bersifat sempurna, sebagaimana makan, minum dan juga
berbagai kegiatan mu’amalah yang di mubahkan seperti berburu dan merumput.
b.
Kemaslahatan
yang pada lazimnya diharapkan bisa berhasil, sebagaimana berniaga, baik
terhadap harta sendiri ataupun harta orang lain. Kesemuanya itu merupakan
kemaslahatan yang belum dapat dirasakan hasilnya.
3.
Kemaslahatan
yang bersifat duniawiyah dan ukhrawiyah , sebagaimana kafarat dan berbagai
macam ibadah yang bertalian dengan harta, seperti zakat, sadaqah dan lain-lain.
Dalam praktek ekonomi islam di tujukan untuk memperoleh maslahah
tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Maslahah dan maqashid
al-Syari’ah dalam pandangan al-Syatibi merupakan dua halpenting dalam
pembinaan dan pengembangan hukum Islam.Maslahah secara sederhana diartikan
sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat.Diterima akal, mengandung
makna bahwa akal dapat mengetahui dengan jelas kemaslahatan tersebut.
Menurut Amir Syarifuddin ada 2 bentuk maslahah:[13]
1. Mewujudkan
manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalb almanafi’(membawa
manfaat).Kebaikan dan kesenangan ada yang dirasakan langsungoleh orang
melakukan sesuatu perbuatan yang diperintahkan, tetapi ada juga kebaikandan
kesenangan dirasakan setelah perbuatan itu dilakukan, atau dirasakan
harikemudian, atau bahkan Hari Kemudian (akhirat).Segala perintah Allah swt
berlakuuntuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti itu.
2.
Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u
almafasid. Kerusakan dan keburukan pun ada yang langsung dirasakannya
setelahmelakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang merasakan sesuatu
kesenanganketika melakukan perbuatan dilarang itu, tetapi setelah itu yang
dirasakannya adalahkerusakan dan keburukan. Misalnya: berzina dengan pelacur
yang berpenyakit ataumeminum minuman manis bagi yang berpenyakit gula.Secara
bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan
alsyari’ah.Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syariah
berarti jalanmenuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah
sumber pokok kehidupan.[14]Dari
pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan syariah menurut Imam al-Syatibi
adalah kemaslahatan umat manusia. Berkaitan dengan hal tersebut, ia
menyatakanbahwa tidak satu pun hukum Allah swt yang tidak mempunyai tujuan
karena hukum yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan sesuatu yang
tidak dapat dilaksanakan.11 Kemaslahatan, dalam hal ini diartikannya sebagai
segala sesuatu yang menyangkut rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia,
dan perolehan apa-apa yangdituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan
intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak.12
Adapun
yang dijadikan tolak ukur untuk menentukan baik buruknya (manfaat dan mafsadatnya)
sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan pokok hukum
adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan
manusia itu bertingkat-tingkat, menurut al-Syatibi ada 3 (tiga) kategori
tingkatan kebutuhan itu yaitu: dharuriyat (kebutuhan primer), hajiyat
(kebutuhan sekunder), dan tahsiniyah(kebutuhan
tertier).13
1. Dharuriyat,
kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yang harus ada untuk eksistensinya manusia
atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan mansia tanpa harus dipenuhi manusia
sebagai ciri atau kelengkapan kehidupan manusia, yaitu secara peringkatnya: agama,
jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima
hal itu disebut al-dharuriyat al-khamsah (dharuriyat
yang lima).14 Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus
ada pada
diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya
keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan
yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang
lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure pokok
itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan
yang merusak
atau mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus
ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia.15
2. Hajiyat,
kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu yang dibutuhkan
bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri.
Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam
kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak
kehidupan itu sendiri. Namun demikian, keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan
kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan
mukallaf.
4. Tahsiniyat, kebutuhan
tingkat “tersier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah
kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak akan rusak
dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan tingkat ini sebagai
penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya, ia bersifat pelengkap dalam
kehidupan mukallaf, yang dititikberatkan pada masalah etika dan estetika
dalamkehidupan.
Dari uraian di atas jelas bahwa segala
syari’at islam menghendaki segala bentuk kemaslahatan dalam setiap aspek
kehidupan, tak terkecuali dalam pemenuhan kebutuhan manusia sehari-hari.
D. Maslahah dalam pemenuhan kebutuhan manusia
Masalah
dalam ekonomi konvensional adalah bahwa perkembangan kebutuhan manusia tidak
sebanding dengan sumber daya yang tersedia sebagai alat pemuas. Mereka
menempatkan bahwa kebutuhan dan
keinginan itu sama. Berbeda dengan islam yang menolak anggapan tersebut.
Kebutuhan manusia itu justru terbatas, misalnya dalam perkara makan, jika
seseorang makan dan telah merasa kenyang maka hal itu menyatakan bahwa ia telah
puas dan kebutuhannya telah terpenuhi. Jika di dasarkan kepada hasrat manusia
semata maka masalah ekonomi tidak akan selesai. Dalam islam hasrat di jadikan
sebagai sebuah keinginan. Dan hanya hasrat yang menghasilakn maslahah dunia dan
akhirat lah yang dijadikan sebagai need (keinginan).
E.
Maslahah dalam distribusi pendapatan
Dalam kehidupan sehari-hari, ajaran islam di ajarkan ke dalam teori
dan di interpretasikan bagaimana seseorang berhubungan dengan orang lain.
Kaitannya dengan zakat, zakat merupakan sumber penting dalam struktur keuangan ekonomi islam. Karena
setiap muslim yang kekayaannya mencapai nisab, di wajibkan membayar sebagian hartanya
untuk orang miskin dan yang memerlukan (asnaf). Dalam penegrtian modern, zakat
adalah pajak yang dikumpulkan dari orang kaya muslim yang diperuntkkan terutam
untuk memabantu masyarakat muslim yang miskin[15].
Sehingga, pendapatan tidak hanya di rasakan oleh orang kaya saja,namun
terdistribusi secara adil dan menimbulkan maslahah bagi segala umat baik bagi
yang membayar zakat maupun yang menerima zakat tersebut. Zakat dari orang
muslim ataupun jizyah dari orang non-muslim dasar hukumnya sama pula yaitu
untuk menciptakan kesejahteraan dan maslahah bagi umat.
Zakat merupakan bagian dari pembahasan ilmu ekonomi islam yang
masuk dalam sistem fiscal atau pendapatan utama Negara atau lembaga islam.
Pendapatan zakat dan sumber keuangan lainnya dalam islam adalah untuk
memakmurkan dan menyejahterakan umat[16].
Menurut prinsif islam,
kekayaan harus menyandang sistem kesejahteraan yang bertumpu pada zakat
sebagai bentuk syukur atas segala yang di anugerahkan tuhan. Selain sebagai
sarana untuk menyucikan jiwa dan harta, zakat juga merupakan tips bagi jaminan
perlindungan, pengembangan dan pengaturan peredaran serta distribusi kekayaan.
Cara memanfaatkannya didasarkan pada fungsi sosialnya bagi kepentingan
masyarakat yang menyentuh kalangan miskin maupun kaya.
Islam melarang pemakaian harta benda semata-mata untuk kemewahan
dan pamer. Lagi pula, dalam rangka pengembangan investasi, islam melarang
monopoli yang merupakan pilar utama berdirinya sistem kapitalisme dan
eksploitasisime. Islam mengharuskan di terapkannya prinsif keadilan, termasuk
juga dalam hal pemerataan kesejahteraan.[17]
[1]
Nasrun Haroen, ushul fiqih, ciputat : PT Logos Wacana Imu , 1997
hal. 113
[2]
Husain Hamid Hasan, Nazhariyyah al-mashlahah fi al-fiqh al-islami,kairo
: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1971, hal 310-414
[3]
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfha fi ‘ilm al-Ushul, Beirut : Dar
al-Kutub al-‘illmiyyah, jilid I, 1983, hal 286
[4] Asywadie syukur, pengantar ilmu fiqih
dan ushul fiqih, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1990, hal 117-119
[5]
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syariah, Beirut : Dar
al-Ma’rifah, 1975, jilid IV,hal.206 dan 208
[6]file:///D:/tugas%20kuliah/ushul%20fiqih%20keuangan%20syariah/Aplikasi%20Maslahah%20Mursalah%20Dalam%20Ekonomi%20_%20Tumbuh%20Berkembang.htm
[8]Ibid.h.153.
[9]
Nasrun Haroen, ushul……., op. cit.,jilid II, hal 115-116
[10]Ibid.,
hal 117
[11]
‘izzudin Ibnu Abdis Salam, kaidah-kaidah hukum islam, Bandung : penerbit
Nusa Media, 2011, hal3
[12]Ibid.,
hal 56
[13] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II, cet. ke-4 (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2008), hal . 208
[15]
M.M. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : Bangkit Daya
Insana, 1995, hal.1-7
[16]
Umrotul Hasanah , Manajemen zakat modern, Malang : UIN Maliki Press,
2010, hal. 48
[17]Ibid.,
hal 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar